Bingkai Kehidupan
Oleh: Attar Ary Asmoro
“What...!”, pekik
Nisa tertahan. “Kenapa harus dia?”. Wajahnya menekuk, tidak bisa berfikir.
“Apa masalahnya,
nak? Wisnu anak yang baik. Dia juga sering melakukan kegiatan-kegiatan
sepertimu, kan?” Jawab ibu dengan sabar.
“Bu, Nisa tahu dia
orang baik, terlalu baik malah. Tapi justru itu masalahnya, dia terlalu baik
bu..., nggak pas buat aku”. Nisa memandang wajah ibunya, mencoba meyakinkan.
Tapi ibu hanya menghela nafas, dan berkata,
“Baiklah. Ibu beri
waktu kamu untuk berfikir. Ingat nak,..berfikir..., bukan mengelak lagi seperti
kemarin-kemarin. Ibu tidak akan mengganggu kamu lagi dalam 1 minggu ini”. Ibu
beranjak dari kursinya. Melangkah menuju pintu kamar, tapi sebelum keluar,
beliau berbalik dan berkata lagi, “O ya Nis, Ibu lupa, 1 bulan lagi kamu ulang
tahun ke dua puluh sembilan ya?”, Nisa tersenyum pahit, “Ya bu, Nisa ingat”.
Pintu kamar
tertutup. Nisa memandang keluar jendela. Batinnya terus berbisik. Ok, so what
kalau aku sudah 29 tahun. Trus gue harus
koproll sambil bilang wow gitu? Ucap batinnya sesak. Dia tahu kegalauan hati
ibunya. Usianya tak lagi muda. Banyak teman sekolahnya yang anaknya sudah masuk
SD. Ibu juga sudah sepuh, bapak sudah
meninggal 2 tahun kemarin. Ibu pernah bilang kalau bapak sebenarnya ingin
melihatnya menikah sebelum bapak dipanggil Allah, tapi ternyata takdir berkata
lain. Dan sekarang ibu ingin segera melihatnya menikah. Segera menimang cucu
untuk menjadi teman di hari tuanya. Tiga orang kakaknya tinggal di tempat jauh.
Mas Irwan jadi pengacara di Padang. Mbak Nanda ikut suaminya yang baru saja
mendapat beasiswa di Australia. Mas Galang memilih menjadi ahli konservasi
hutan di Papua.
Sementara dia...
lulus dari Akuntansi UI malah ikut freelance
pekerja sosial di Kemensos. Masuk ke kampung-kampung, mendata keluarga
miskin, janda, anak terlantar, anak yatim, jompo. Melakukan pendampingan, sosialisasi
bantuan, dan membantu penyalurannya agar tepat sasaran dan tidak bocor di
jalan. Tidak kenal waktu, pagi, siang,
sore, malam. Di sela-sela waktu Nisa sibuk dengan mengisi kajian. Taklim
ibu-ibu, mentoring anak SMA, les gratis untuk anak-anak, bahkan mengajar iqro ‘
juga di masjid kampungnya. Nisa dengan beberapa teman aktivis juga membangun sebuah lembaga amal untuk
membantu anak-anak yatim.
Kakak-kakaknya
selalu berseloroh ketika berkumpul, “Kamu itu Nis, punya ilmu dan ijazah mahal
tidak digunakan. Coba lihat teman-teman satu angkatanmu. Mereka sudah nyaman
dengan Honda Jazz atau Freednya
masing-masing. Tinggal di apartemen mewah. Lah, lihat kamu, waktumu habis di
jalan”.
“Tenang mas,
insyaallah Nisa akan mendapat yang lebih baik nanti. Surga mas... surga...
Keren kan?”. Katanya sambil tersenyum lebar.
Dan Wisnu? Wisnu!
Sebenarnya bukan karena Wisnu anak yang baik. Ya ... oke Nisa tahu dia baik,
bagaimana tidak tahu, dia teman sejak kecil, rumah Wisnu hanya berjarak sebuah
kebun kecil dan sebuah pos ronda dari rumah Nisa. Wisnu yang pendiam, tersenyum
malu dan salah tingkah ketika menyapanya. Wisnu yang sering adzan di masjid,
rajin ikut taklim, hanif. Wisnu yang karirnya oke, yahh.. meskipun dulu ketika
sekolah Wisnu jarang dapat rangking, tapi sekarang dia jadi kepala sekolah bro.. Kepala Sekolah! Nisa
terbayang Wisnu masuk ke gerbang sekolah, pakai peci, menenteng tas hitam
butut, naik sepeda kebo. Ahh... Oemar
Bakri banget... Tidakk...
Pikiran Nisa kian
dalam. Bagaimana dia akan mengimbangi langkahnya dalam berorganisasi. Bagaimana
dia nanti bisa mengerti aktivitas Nisa. Bagaimana dia bisa menerima waktu
seorang istri yang hanya sedikit.
Bagaimana mereka nanti bisa menyelaraskan dua kehidupan yang sedemikian
berbeda. Akankah dia bisa mendukung semua kegiatanku? Dia yang begitu teratur,
tertata, menjalankan aktivitas tanpa gejolak berarti. Ahh... apa ya kata yang
tepat, pribadi yang lemah? Ah tidak.. karakter yang kurang kuat.. ya..itu dia.
Setiap hari Nisa
selalu bermunajat kepada Allah agar
tidak diperjodohkan dengan Wisnu. Dalam doa-doa panjang di sepertiga malam.
Dalam waktu-waktu mustajab untuk berdoa. Dia tidak ingin menikah dengan wisnu.
Tidak sedikitpun. Apa salah kalau dia ingin suami sesama aktivis seperti dia.
Seorang laki-laki yang cerdas dan berkarakter kuat? Yang bisa seiring sejalan
dan menjaganya?
Sementara di
seberang kebun dan pos ronda. Wisnu juga senantiasa bermunajat untuk diberikan
jodoh yang terbaik. Kalaupun Nisa adalah yang terbaik, ia memohon kepada Allah untuk menyegerakan pernikahan itu. Sungguh ia
sangat berharap bisa menikah dengan Nisa. Seorang gadis baik, aktivis muslim
yang terjaga, cerdas, mengabdikan seluruh waktunya untuk masyarakat. Betapa ia
sangat mengharapkan gadis itu.
...
“Piye, nduk?” kata ibu pelan di belakang
Nisa. Nisa tidak menjawab. Tangannya masih sibuk melipat mukena. Dirapikannya
jilbab lebar yang agak berantakan setelah salat.
“Nduk...?”. Nisa bergeming.
“Ibu butuh jawaban.
Tadi ayah Wisnu datang kemari menanyakan jawabanmu. Dulu ibu minta waktu 1
minggu untuk menjawab, tapi kamu belum siap. Dan sekarang sudah tiga minggu,
nak. Ibu tidak enak dengan Pak Rahmad. Bukankah kita juga harus menjaga
hubungan baik dengan tetangga?”.
Ibu tidak mendengar
jawaban apapun. Nisa akhirnya membalikkan badan menghadap ibunya. Tampak
butiran air mata turun ke pipinya. Nisa menangis dalam diamnya.
“Maafkan Nisa, bu.”
Ibu menghela nafas panjang. Beliau tahu jawaban anaknya itu. Sama seperti dulu
ketika Fauzan, Imran, dan Widan datang kepadanya. Pemuda-pemuda baik yang
ditolak oleh Nisa.
...
“Alhamdulillah... Akhirnya pangeranmu datang juga, Nisa. Beneran
nih, kamu menikah dengan Faqih Al Fattah? Wah.. jadi pernikahan hebat nih.
Pasangan yang sempurna. Sama-sama cerdas, aktivis jempolan. Wah.. jadi keluarga
samara nanti.”
Nisa tersenyum.
Bangga.
“Alhamdulillah, Aisy, Allah mendengar dan mengabulkan doaku. Tolong nanti
kamu sampaikan undanganku ke teman-teman semua ya”.
“Ya, insyaAllah ”.
Aisyah, teman karib
Nisa benar-benar bahagia, sekaligus iri. Betapa tidak, dua orang andalan, dua
orang juara, dipertemukan Allah dalam
sebuah pernikahan. Sungguh akan menjadi keluarga yang luar biasa.
Dan datanglah hari
itu. Hari yang menjadikan hati ibu mengharu biru. Senang dan sedih bersatu.
Senang melihat anaknya akhirnya menikah setelah penantian yang panjang. Sedih
karena ia akan melepas putri kesayangannya itu. Air mata ibu menetes deras
ketika beliau mendengar...
“...saya terima
nikahnya An Nisaul Karimah binti Abdullah dengan mas kawin kitab tafsir Fii Zhilalil Quran
Asy Syahid Sayyid Qutb dibayar tunai”. Lantang suara Faqih menggema di ruangan bertabur
bunga yang sudah disekat putra dan putri itu.
“Para saksi...,
sah?” tanya pak Naib.
“Sah!” Jawab para
saksi dengan kompak.
Serempak para
undangan menjawab, “Alhamdulillah”.
Airmata ibu semakin
deras menetes...
...
Starting a new life...
“... Sayang...”.
Keras suara laki-laki itu bergemuruh di rumah kecil di ujung belakang perumahan
itu.
”Ya.., sebentar.”
“Kamu ngapain saja
sih dari tadi? Lelet amat. Aku harus segera ngisi
khutbah Jumat di Masjid. Kamu harusnya sudah menyiapkan perlengkapanku.
Mana sandal hitamku? Sama itu ikat pinggang. Kamu itu payah benar, membelikan
celana panjang malah kebesaran. Jadi istri kok tidak tahu kebutuhan suami”.
Omelnya panjang lebar.
“Aku kan baru saja
pulang, mas. Tadi pagi sudah saya siapkan. Sandalnya tadi njenengan pakai ke kantor BAZIZ. Sama ikat...”.
“Apa..? Sudah
berani sama suami? Tugasmu itu memenuhi kebutuhanku, bukan malah menceramahi.
Aku ini Qowam kamu. Cepat cari sana”.
Baru saja dia
melangkah... Terdengar adzan dari masjid.
Allahuakbar...Allahuakbar...
“Kamu dengar..
sudah adzan... rugi aku menikahimu. Lambat. Kalau hanya seperti ini, lebih baik
dulu aku tidak menikah dengan aktivis saja. Sudah. Tidak perlu mencari lagi.
Aku bisa pakai yang lain. Payah.”
Laki-laki itupun
buru-buru membuka pintu dan melangkah cepat ke masjid.
“Assalamu’alaikum..., mas.” Bisik perempuan itu tertahan. Ia
memejamkan matanya.
“Robbi... Inikah
suamiku. Inikah Faqih Al Fattah sang aktivis teladan itu?”
...
“Ibu sakit, Nis.
Tolong pulang dulu, nduk.” Suara lemah ibu di HP membuat Nisa tertunduk kelu.
“Mas Faqih baru di
luar kota, bu. Nisa harus ijin dulu untuk pulang menjenguk ibu.”
“Ya. Ndak apa-apa,
kamu ijin suamimu dulu. Ibu bisa menunggu.”
Tak lama Nisa
berhasil menghubungi suaminya.
“Ya. Tapi ingat,
satu hari saja. Aku tidak mau menemui rumah kosong ketika besok pulang.”
“InsyaAllah , Mas.”
...
Ibu nampak sayu
duduk di depan jendela ruang tamu.
“Sudah 2 tahun kamu
menikah, bagaimana keluargamu, Nduk?”
“Alhamdulillah. Kami baik-baik saja. Mas Faqih sangat
perhatian. Mohon doanya agar segera dikaruniai momongan.” Jawab Nisa dengan
wajah ceria.
“Ya, semoga, nduk.
Jangan lupa selalu memohon kepada gusti Allah ”.
“Nggih, bu.”
Ahh... Maafkan
Nisa, bu. Bahkan Nisa sudah tidak punya air mata lagi. Setiap saat Faqih selalu
mencari kesalahannya, menghujat, memaki. Hal kecilpun bisa membuat dia marah.
Faqih memang belum pernah memukulnya. Tapi kata-kata Faqih lebih menyakitkan
daripada diiris sembilu. Lebih membuat memar daripada hantaman tinju. Begitu
bagus dia menganyam lisannya untuk menyakiti hati. Aku adalah Qowam. Istri harus taat pada suami. Jika istri membangkang
maka ia boleh dipukul. Istri adalah ladang bagi suami. Istri dilaknat ketika
suami tidak ridho di malam hari. Ahh... Robbi... sungguh aku tidak sanggup
bertahan lagi. Bukankah aku juga seorang yang punya wawasan? Bukankah aku juga
berpenghasilan? Bukankah aku tidak 100% menggantungkan hidupku pada suami?
Bukankah aku selalu taat pada suami?
Tapi kenapa aku selalu dihina oleh suamiku sendiri? Suami yang bahkan
sangat paham syariat agama??
...
“Ehh.. Nisa. Kapan
kamu datang? Tumben bisa pulang.” Suara renyah itu mengagetkan Nisa. Seketika
dia berpaling, dan melangkah keluar halaman.
“Aisyah..., Ya Allah
... Siapa ini ganteng sekali?” Seorang anak laki-laki kecil yang baru belajar
berjalan memandang Nisa. Kemudian tersenyum lucu.
“Anakku, Nis.
Wildan. Baru 11 bulan. Tapi dia sudah jalan 3, 4 langkah lho...”.
“Ayo salim sama ammah, Wildan”. Terdengar suara berat dari belakang. Ups... Wisnu.
Nisa agak kikuk melihatnya. 5 bulan setelah Nisa menolak lamaran Wisnu,
akhirnya Wisnu menikah dengan Aisyah.
Aisyah tersenyum
melihat siapa yang datang.
“Oh, Ayah sudah
selesai lari paginya. Wildan sayang, pulang dulu bareng ayah, ya. Bunda, sama ammah Nisa dulu. Kangen lama tidak
bertemu”.
“Ayo sayang, pulang
sama ayah dulu.” Wisnu mengangkat tubuh wildan tinggi, “...a.aa..aaw..” Wildan
tertawa senang. Nisa dan Aisyah tersenyum melihatnya. What a very kind man.
Mereka berdua masuk
dan duduk di beranda rumah. Suasana sepi karena ibu baru saja tidur setelah
minum obatnya.
“Kamu masih punya
nomor HP Yasmin, Aisy?”
“Yasmin? Akhwat hukum yang sekarang jadi
pengacara itu? Ya, masih. Aku masih sering berhubungan dengan dia. Memangnya
ada apa?”.
“Aku mau
tanya-tanya tentang perceraian”.
“Cerai? Kasus
apaan, Nis, sampai cari pengacara segala?”.
“Ya.. kasus rumah
tangga dong...” Jawab Nisa sambil tersenyum.
“Ya, iya, ane tahu. Siapa emangnya yang mau
cerai?”
“Aku”. Jawab Nisa
datar.
“What??”. Sontak
mata Aisyah terbelalak.
“Astaghfirullahaladziim...” Aisyah hanya
bisa menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar kisah Nisa. Dirinya teringat
suaminya, Wisnu. Laki-laki pendiam dan lugu. Tapi sungguh dia selalu berupaya
membuatnya tersenyum. Laki-laki yang
tidak terlalu cerdas tapi tak pernah marah. Laki-laki pemalu tapi selalu
berusaha romantis. Tidak terlalu tampan tapi perhatian. Memang Allah menciptakan manusia dengan segala kelebihan
dan kekurangannya masing-masing.
“Istighfar, Nis. Kamu tahukan, perceraian
memang diperbolehkan, tapi itu hal yang sangat dibenci Allah . Ini sebuah mitsaqan ghalidza. Sebuah janji yang
berat di hadapan Allah . Kamu dan Faqih adalah orang yang paham agama. Sudah di
khusnudzoni bisa menjadi uswah khasanah untuk ummat ini. Istighfar sahabatku... pasti ada jalan
untuk cobaanmu ini. Allah tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan hambanya.”
Airmata Aisyah tumpah. Bahkan dia tidak mampu membayangkan makna kata bercerai
karena demikian berat.
“Mungkin ini bukan
cobaan, Aisy. Bisa jadi ini teguran Allah
terhadapku. Mungkin tanpa aku sadari selama ini aku berdakwah tidak
dengan ikhlas. Kesombongan bahwa aku sangat sibuk berdakwah. Rasa congkak
karena aku selalu menjadi yang terbaik. Angkuh karena aku selalu dipercaya.
Sok karena selalu menjadi andalan.
Merasa hebat karena aku selalu mendapatkan apa yang aku mau. Astaghfirullahhaladziim.. berapa banyak
orang yang sudah aku dzalimi Aisy?”
Aisyah memeluk erat
bahu Nisa. Ia mencintai sahabatnya itu.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” Kata Nisa
lirih. Ia menangis tanpa suara.
“Kamu harus
berjuang, Nis. Jangan menyerah. Sebagaimana selama ini kamu selalu berjuang
untuk orang lain. Sekarang saatnya kamu berjuang untuk dirimu sendiri, untuk suamimu,
untuk pernikahanmu. Untuk sebuah janji
besar yang sudah didengar Allah. Kamu bisa. Faqih bukan seorang pemabuk. Dia
bukan penjahat. Dia seorang ustadz. Kalaupun sekarang dia keras terhadapmu,
jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu. Allah maha membolak-balikkan hati.
Percayalah”.
Nisa kian
sesenggukan. Lirih dia berkata, “Aku mencintainya, Aisy”.
Sayup-sayup
terdengar suara nasyid dari Shoutul Harakah di dalam rumah.
Mengarungi samudra kehidupan, kita ibarat para
pengembara,
Hidup ini adalah perjuangan, tiada masa tuk berpangku
tangan,
....
Selesai.
Lorong waktu,
Selasa, 27 Nop 2012
11.45 a.m.